Jumat, 18 April 2014

Guilty All the Same - Linkin Park ft. Rakim


Tell us all again
What you think we should be
What the answers are
What it is we ca
say
How to fall in line
How there's no other way
But oh, we all know

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same

Show us all again
That our hands are unclean
That we're unprepared
That you have what we need
Show us all again
'Cause we cannot be saved
'Cause the end is near
Now there's no other way
And oh, you will know

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

There's no one else to blame
Guilty all the same

Guilty all the same
You're guilty all the same

[Rakim]
Yeah, you already know what it is
Can y'all explain what kind of land is this when a man has plans of being rich
But the bosses plans is wealthy?
Dirty money scheme, a clean split is nonsense
It's insane
Even corporate hands is filthy
They talk team and take the paper route
All they think about is bank accounts, assets and realty
At anybody's expense,
No shame with a clear conscience
No regrets and guilt free,
They claim that ain't the way that they built me
The smoke screen before the flame
Knowing as soon as the dough or the deal peak
They say it's time for things to change
Re-arrange like good product re-built cheap
Anything if it's more to gain
Drained, manipulated like artists, it's real deep
Until no more remains, but I'm still me
Like authentic hip-hop and rock,
'Til pop and radio and record companies killed me
Try to force me to stray and obey
And got the gall to say how real can real be
You feel me, we'll see that green could be to blame
Or greedy for the fame,
TV or a name
The media, the game,
To me you're all the same
You're guilty

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame
There's no one else to blame

Guilty all the same
Guilty all the same
Guilty all the same

Minggu, 16 Februari 2014

Little Story



Aku adalah anak umur dua bulan di sekolah menengah pertama ini. Yap. Kurang lebih dua bulan yang lalu aku hanyalah anak SD. Demikianlah, aku merasa sudah cukup besar dan kini aku yakin aku sedang merasakan cinta. Rasa yang begitu berbeda.
            Aku sudah mengenalnya sejak hari pertama masa orientasi. Dia kakak pembimbing di kelasku. Dia begitu pendiam, tidak banyak bicara seperti kakak-kakak pembimbing yang lain. Hari itu adalah hari pertama dimana kami berkenalan, hari pertama masa orientasi. Dia memperdengarkan suaranya menyebut namanya dengan lantang dan senyuman manis di wajahnya, menatap kami satu per satu. Rikaniya Raisyah, ucapnya. Tentu tak berkedip aku memandangnya. Dia senyum. Aku rasa kala itulah dia tersenyum paling lama.

            Sejak saat itu aku merasa dialah perempuan paling cantik ketiga setelah ibu dan nenekku. Hahaa… Sering hanya ketika aku berpapasan di koridor. Dia hendak ke perpustakaan yang letaknya berjarak dua ruangan dari kelasku—kelas 1 dan aku mau ke kantin yang letaknya jauh di ujung sana—dekat kelas 3. Hanya aku yang menatapnya, dia tidak pernah membalas tatapanku. Pernah sekali waktu aku sengaja menabrakkan bahuku padanya yang sedang membawa beberapa buku—mungkin pinjam di perpustakaan. Namun dia cuma  bertunduk memungut bukunya yang terjatuh dan langsung pergi tanpa mempedulikan orang yang menabraknya #loh?!hha. Sering jika diparkiran kendaraan, aku memarkinkan kendaraanku sengaja untuk menghalangi kendaraannya agar dia bicara padaku untuk cepat mengalihkan kendaraanku. Tapi apa? Malah dia hanya menunggu sampai semua kendaraan habis. Diam saja duduk di bawah pohon sambil terus memandangi kendaraannya yang antic itu. Sesekali tertawa pada teman yang nenyapa, mungkin teman satu kelasnya.

            Tidak bicara padanya selama waktu itu sampai sekarang aku sudah kelas dua dan dia di kelas tiga. Dia akan ujian. Aku pikir, “pasti dia bakal sering ke perpus untuk belajar.” Tapi sekarang kelasku agak jauh dari perpus. Hm…tak apalah. Biar aku yang datang ke sana untuk menengoknya setiap hari—dia akan meninggalkan sekolah ini tak lama lagi.
            Ternyata aku benar dia ada di perpus setiap jam istirahat pertama. Duduk di kursi nomor dua dari ujung. Membaca dengan begitu serius dan kadang mencatat sesuatu. Dia ini…sangat rajin belajar. Aku yakin dia akan lulus dan mendapat peringkat tinggi.
            Hanya mengamatinya dari jauh. Kadang aku coba lewat di belakangnya berpura-pura mencari buku. Berjalan sambil meliriknya yang sangat serius belajar tanpa mempedulikan orang yang lalu lalang di belakanganya, di sampingnya. “Manis sekali.” Gumamku. Wajahnya yang begitu serius membuatku tersenyum.

            Hasil ujian pun keluar di bulan ini—April. Hari ini pembagian surat LULUS dan atau TIDAK LULUS. Kami kelas dua dan kelas satu diliburkan hari ini. Tapi aku tetap datang dengan baju rumah, menunggu Ka Rai—sapaan akrab untuknya, keluar dari gerbang ke sekolah. Aku akan menebak bagaimana reaksi mukanya jika sudah membuka surat keramat itu. Hhaha…

            Dan dia keluar beriringan dengan ayahnya, mungkin. Aku belum mengenal keluarganya tentu saja. Dia membuka surat itu perlahan menghentikan langkahnya. Reaksi wajahnya tidak bisa terbaca. Langsung dia memberikan kertas itu ke ayahnya. Oh. Dia lulus atau tidak?

            Esok harinya, kami, kelas dua dan kelas satu hadir ke sekolah untuk melihat pengumuman tanggal ulangan akhir semester. Sementara yang kelas tiga juga hadir untuk melihat pengumuman nilai mereka yang juga di tempel di papan pengumuman. Aku membaca tulisan ini dengan seksama, coba mengingatnya saja tak perlu di catat. Serius membaca dengan menempelken tangan kiriku ke dinding seolah-olah berpikir, “ini gimana cara belajarnya?” #hhahaa
            Sesosok orang berkomat-kamit di sebelahku—tiba-tiba ada. Sambil menunjuk pengumuman kelulusan dengan jarinya…satu per satu nama dan berhenti tepat di namanya. Masih tanganku menempel di dinding, memperhatikan ekspresinya yang tidak sesuai menurutku. Dia menoleh padaku dan berkata, “aku beneran lulus.” Ucapnya dengan wajah yang begitu menggambarkan kegembiraan. Aneh, pikirku. Dia  pun berlalu begitu saja. Aku membaca pengumuman kelulusan itu sekali lagi—yang ditunjuknya tadi. Dengan peringkat 172 dari 230 siswa. Apa yang membuat dia begitu bahagia? Padahal setiap hari dia ke perpus untuk belajar. Apa yang dipikirkannya waktu menjawab soal ujian kemarin sampai-sampai dia dapat peringkat jelek begitu. Seharusnya dia bisa masuk 20 besar atau paling tidak 50 besar. Aku meliriknya yang begitu gembira sambil berlari-lari kecil. Lalu aku menoleh lagi ke pengumuman tadi. Hah. Ternyata umurnya lebih muda satu tahun dariku. Tertulis di sana tanggal lahir, 27 Agustus 1996. Aku 30 Desember 1995. Aku malah tersenyum sendiri, tertunduk dan masih menempelkan tanganku  di dinding ini. Ternyata aku masih normal, menyukai perempuan yang lebih muda dariku. Tapi apa salahnya jika menyukai orang yang lebih tua dari kita. Mungkin itu juga masih bisa disebut normal.

            Sekitar hampir dua bulan setelah itu, aku sudah di kelas 3. Dan sekarang aku sudah tidak melihatnya di sekolah ini. Begitu hambar… sekarang aku sudah jarang ke perpus. Tidak ada dia, untuk apa ke sana. Mendekati ulangan akhir semester satu aku dapat informasi di mana dia melanjutkan SMAnya. Disana, aku juga akan ke sana. Sebuah SMA yang lumayan menjadi favorit dan memiliki akreditasi A.

            Setahun sudah aku tidak melihat ataupun bertemu dengannya. Tentu aku giat belajar untuk masuk di SMA yang sama dengannya, tapi bukan di perpus seperti dia yang mendapat nilai jelek walau setiap hari ke sana. Aku hanya di rumah dengan guru privat, adikku. Haahaa. Dan peringkatku lebih baik dari dia, 51. Dengan peringkat seperti itu tentu aku sangat percaya diri akan diterima di sekolah yang sama dengannya.

            Setelah setahun tidak bertemu, aku rasa dia agak berubah. Mengenakan seragam yang berjilbab membuatnya terlihat semakin cantik. Aku mendapatkan tanda tangannya saat MOS kemarin tapi dia tidak menjadi mentor lagi. Dia mungkin tidak ikut OSIS. Dia sekarang kelas 2 dan aku kelas 1. Sama seperti dulu—tentu saja dan masih sama seperti dulu aku menyukainya, mengagumi atau entahlah. Walaupun dia tidak bicara padaku, aku hanya merasa senang melihatnya.