Sabtu, 26 Desember 2015

Sepeda Kenangan Kesayangan

Masih tergambar di benakku
Kala dulu
Waktu pagi minggu berawan tipis
Baru saja mentari beranjak
Kamu menunggu di depan gerbang
Sesuai  dengan janji kita
Bersepeda bersama
Pagi itu kita saling bercerita
Tentang sebuah masa depan
Ya… Bersama
Sepeda kesayangan dengan sebuah kenangan
Walaupun kini sudah berbeda
Walaupun kini kita hanyalah teman

Rabu, 23 September 2015

Kertas Kosong

Apa
Apa yang aku pikirkan saat melihat lembar kosong
Hmm...
Apa yang kamu, iya, kalau begitu giliranmu

Bila aku
Aku ingin menggoreskan pensil ini disana
Diatas kertas kosong itu
Seperti lembar bagian hidupmu
Aku ingin melukiskan sesuatu
Memberi warna disana

Tapi sayang
Bukan aku yang kamu harapkan
Bukan aku yang kamu ingin untuk mewarnai kertasmu
Eits
Bukan berarti aku menyukaimu
Aku hanya terketuk untuk menggerakkan tanganku yang telah meraih pensil ini
Bersiap menarik beberapa garis
Dan menuangkan cat warna

Sabtu, 05 September 2015

Senandungku

"Mungkinkah kau disana merasakan yang sama seperti diriku di malam ini."
Hh
Kutipan lirik lagu yang sangat pas untukku
Untukmu juga
Ini isi hati yang terus menggebu
Yang begitu ingin aku ungkapkan
Tapi banyak yang perlu dipertimbangkan
Bagaimana waktu dan keadaan
Ya aku hanya bicara dengan hatiku
"Ini yang begitu ingin aku ungkapkan, yang sudah tersimpan lama."
Bukan satu dua hari atau dua tiga minggu
Melainkan bertahun-tahun
Kadang aku berpikir akan ku simpan saja
Namun sulit.
Sebenarnya ini sudah jelas, tapi mengapa aku terus seperti ini
Aku juga tidak menginginkannya
Aku pun ingin menghapusnya
Karena keadaan ini, karena waktu yang belum tepat
Tapi aku, terlanjur jatuh cinta
Ada sesak yang ditahan, pedih yang tersimpan.
Namun memang semua ini akan indah pada waktunya

Jumat, 18 April 2014

Guilty All the Same - Linkin Park ft. Rakim


Tell us all again
What you think we should be
What the answers are
What it is we ca
say
How to fall in line
How there's no other way
But oh, we all know

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same

Show us all again
That our hands are unclean
That we're unprepared
That you have what we need
Show us all again
'Cause we cannot be saved
'Cause the end is near
Now there's no other way
And oh, you will know

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

There's no one else to blame
Guilty all the same

Guilty all the same
You're guilty all the same

[Rakim]
Yeah, you already know what it is
Can y'all explain what kind of land is this when a man has plans of being rich
But the bosses plans is wealthy?
Dirty money scheme, a clean split is nonsense
It's insane
Even corporate hands is filthy
They talk team and take the paper route
All they think about is bank accounts, assets and realty
At anybody's expense,
No shame with a clear conscience
No regrets and guilt free,
They claim that ain't the way that they built me
The smoke screen before the flame
Knowing as soon as the dough or the deal peak
They say it's time for things to change
Re-arrange like good product re-built cheap
Anything if it's more to gain
Drained, manipulated like artists, it's real deep
Until no more remains, but I'm still me
Like authentic hip-hop and rock,
'Til pop and radio and record companies killed me
Try to force me to stray and obey
And got the gall to say how real can real be
You feel me, we'll see that green could be to blame
Or greedy for the fame,
TV or a name
The media, the game,
To me you're all the same
You're guilty

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame

You're guilty all the same
Too sick to be ashamed
You want to point your finger
But there's no one else to blame
There's no one else to blame

Guilty all the same
Guilty all the same
Guilty all the same

Minggu, 16 Februari 2014

Little Story



Aku adalah anak umur dua bulan di sekolah menengah pertama ini. Yap. Kurang lebih dua bulan yang lalu aku hanyalah anak SD. Demikianlah, aku merasa sudah cukup besar dan kini aku yakin aku sedang merasakan cinta. Rasa yang begitu berbeda.
            Aku sudah mengenalnya sejak hari pertama masa orientasi. Dia kakak pembimbing di kelasku. Dia begitu pendiam, tidak banyak bicara seperti kakak-kakak pembimbing yang lain. Hari itu adalah hari pertama dimana kami berkenalan, hari pertama masa orientasi. Dia memperdengarkan suaranya menyebut namanya dengan lantang dan senyuman manis di wajahnya, menatap kami satu per satu. Rikaniya Raisyah, ucapnya. Tentu tak berkedip aku memandangnya. Dia senyum. Aku rasa kala itulah dia tersenyum paling lama.

            Sejak saat itu aku merasa dialah perempuan paling cantik ketiga setelah ibu dan nenekku. Hahaa… Sering hanya ketika aku berpapasan di koridor. Dia hendak ke perpustakaan yang letaknya berjarak dua ruangan dari kelasku—kelas 1 dan aku mau ke kantin yang letaknya jauh di ujung sana—dekat kelas 3. Hanya aku yang menatapnya, dia tidak pernah membalas tatapanku. Pernah sekali waktu aku sengaja menabrakkan bahuku padanya yang sedang membawa beberapa buku—mungkin pinjam di perpustakaan. Namun dia cuma  bertunduk memungut bukunya yang terjatuh dan langsung pergi tanpa mempedulikan orang yang menabraknya #loh?!hha. Sering jika diparkiran kendaraan, aku memarkinkan kendaraanku sengaja untuk menghalangi kendaraannya agar dia bicara padaku untuk cepat mengalihkan kendaraanku. Tapi apa? Malah dia hanya menunggu sampai semua kendaraan habis. Diam saja duduk di bawah pohon sambil terus memandangi kendaraannya yang antic itu. Sesekali tertawa pada teman yang nenyapa, mungkin teman satu kelasnya.

            Tidak bicara padanya selama waktu itu sampai sekarang aku sudah kelas dua dan dia di kelas tiga. Dia akan ujian. Aku pikir, “pasti dia bakal sering ke perpus untuk belajar.” Tapi sekarang kelasku agak jauh dari perpus. Hm…tak apalah. Biar aku yang datang ke sana untuk menengoknya setiap hari—dia akan meninggalkan sekolah ini tak lama lagi.
            Ternyata aku benar dia ada di perpus setiap jam istirahat pertama. Duduk di kursi nomor dua dari ujung. Membaca dengan begitu serius dan kadang mencatat sesuatu. Dia ini…sangat rajin belajar. Aku yakin dia akan lulus dan mendapat peringkat tinggi.
            Hanya mengamatinya dari jauh. Kadang aku coba lewat di belakangnya berpura-pura mencari buku. Berjalan sambil meliriknya yang sangat serius belajar tanpa mempedulikan orang yang lalu lalang di belakanganya, di sampingnya. “Manis sekali.” Gumamku. Wajahnya yang begitu serius membuatku tersenyum.

            Hasil ujian pun keluar di bulan ini—April. Hari ini pembagian surat LULUS dan atau TIDAK LULUS. Kami kelas dua dan kelas satu diliburkan hari ini. Tapi aku tetap datang dengan baju rumah, menunggu Ka Rai—sapaan akrab untuknya, keluar dari gerbang ke sekolah. Aku akan menebak bagaimana reaksi mukanya jika sudah membuka surat keramat itu. Hhaha…

            Dan dia keluar beriringan dengan ayahnya, mungkin. Aku belum mengenal keluarganya tentu saja. Dia membuka surat itu perlahan menghentikan langkahnya. Reaksi wajahnya tidak bisa terbaca. Langsung dia memberikan kertas itu ke ayahnya. Oh. Dia lulus atau tidak?

            Esok harinya, kami, kelas dua dan kelas satu hadir ke sekolah untuk melihat pengumuman tanggal ulangan akhir semester. Sementara yang kelas tiga juga hadir untuk melihat pengumuman nilai mereka yang juga di tempel di papan pengumuman. Aku membaca tulisan ini dengan seksama, coba mengingatnya saja tak perlu di catat. Serius membaca dengan menempelken tangan kiriku ke dinding seolah-olah berpikir, “ini gimana cara belajarnya?” #hhahaa
            Sesosok orang berkomat-kamit di sebelahku—tiba-tiba ada. Sambil menunjuk pengumuman kelulusan dengan jarinya…satu per satu nama dan berhenti tepat di namanya. Masih tanganku menempel di dinding, memperhatikan ekspresinya yang tidak sesuai menurutku. Dia menoleh padaku dan berkata, “aku beneran lulus.” Ucapnya dengan wajah yang begitu menggambarkan kegembiraan. Aneh, pikirku. Dia  pun berlalu begitu saja. Aku membaca pengumuman kelulusan itu sekali lagi—yang ditunjuknya tadi. Dengan peringkat 172 dari 230 siswa. Apa yang membuat dia begitu bahagia? Padahal setiap hari dia ke perpus untuk belajar. Apa yang dipikirkannya waktu menjawab soal ujian kemarin sampai-sampai dia dapat peringkat jelek begitu. Seharusnya dia bisa masuk 20 besar atau paling tidak 50 besar. Aku meliriknya yang begitu gembira sambil berlari-lari kecil. Lalu aku menoleh lagi ke pengumuman tadi. Hah. Ternyata umurnya lebih muda satu tahun dariku. Tertulis di sana tanggal lahir, 27 Agustus 1996. Aku 30 Desember 1995. Aku malah tersenyum sendiri, tertunduk dan masih menempelkan tanganku  di dinding ini. Ternyata aku masih normal, menyukai perempuan yang lebih muda dariku. Tapi apa salahnya jika menyukai orang yang lebih tua dari kita. Mungkin itu juga masih bisa disebut normal.

            Sekitar hampir dua bulan setelah itu, aku sudah di kelas 3. Dan sekarang aku sudah tidak melihatnya di sekolah ini. Begitu hambar… sekarang aku sudah jarang ke perpus. Tidak ada dia, untuk apa ke sana. Mendekati ulangan akhir semester satu aku dapat informasi di mana dia melanjutkan SMAnya. Disana, aku juga akan ke sana. Sebuah SMA yang lumayan menjadi favorit dan memiliki akreditasi A.

            Setahun sudah aku tidak melihat ataupun bertemu dengannya. Tentu aku giat belajar untuk masuk di SMA yang sama dengannya, tapi bukan di perpus seperti dia yang mendapat nilai jelek walau setiap hari ke sana. Aku hanya di rumah dengan guru privat, adikku. Haahaa. Dan peringkatku lebih baik dari dia, 51. Dengan peringkat seperti itu tentu aku sangat percaya diri akan diterima di sekolah yang sama dengannya.

            Setelah setahun tidak bertemu, aku rasa dia agak berubah. Mengenakan seragam yang berjilbab membuatnya terlihat semakin cantik. Aku mendapatkan tanda tangannya saat MOS kemarin tapi dia tidak menjadi mentor lagi. Dia mungkin tidak ikut OSIS. Dia sekarang kelas 2 dan aku kelas 1. Sama seperti dulu—tentu saja dan masih sama seperti dulu aku menyukainya, mengagumi atau entahlah. Walaupun dia tidak bicara padaku, aku hanya merasa senang melihatnya.

Jumat, 02 Agustus 2013

Cover ka ?

Bad or nice
It's your opinion,^^

Ordinary Nichijou desu !!!!!!



 "Re.”
            “Iya.”
            “Udah tidur kamu?”
            “Lagi belajar ^^.”
            “-,-”
            “Emangnya kenapa?”
            “E…gimana rencana kamu?”
            “Rencana buat nyontek di tes besok?”
            “:v… Rencana buat bantuin kepsek.” kayanya Resha bukan tipe pencontek deh -.-’
            “Belum ada rencana. Kamu?”
            “Ngga ada juga. Makanya aku nanya kamu. –o-”
            “Kalo sempat nanti aku pikirin deh.^^ Good luck ya buat besok.”
            “Ok.”
                       
            Memangnya…besok ulangan apa ya? Hahahaa
Pagi cerah dengan sedikit bias jingga merona di langit, tumben ngga ketemu Resha. Indra juga ngga ada kedengeran suaranya. Apa mereka udah di kelas ya.
            Begitu selangkah kaki memasuki pintu kelas, aku sedikit tercengang melihat Indra dan Resha duduk belajar bersama. Tumben :3
            “Udah belajar, Ar?” tanya Indra saat aku menghampiri mereka. Aku menganggukkan kepala. Meliat mereka yang begitu serius belajar buat tes matematika di jam pertama ini, membuatku sedikit malu ke diri sendiri. Tadi malam cuma main-main belajarnya. Hhaa. Cuma liat-liat doang.
            Sudah menjadi rutinitas kami pergi ke kantin bertiga. Ke kantin yang lebih menyerupai café ini. Kadang Fajar juga ikut gabung dan bercanda dengan kami. Resha yang selalu tersenyum membuatku betah didekatnya, Indra yang berwawasan luas sampai-sampai kadang kelewat batas ilmunya (wkwkk), dan Fajar yang masih belum bisa diprediksi sifatnya, kaya kakanya—Pak Jerry. Bercanda dengan tawa mereka yang begitu tulus. Beban-beban pikiran tentang ulangan, peer, tugas-tugas dan lain-lain jadi serasa terhapus oleh tawa mereka,juga aku.
“Ar, sore ini kita main futsal. Ikut, ya.” ajak Indra. Aku masih menyeruput jus jambu di tanganku.
            “Iya, Ar. Kita lagi kekurangan orang nih. Abisnya Doni cedera sih.” timpal Fajar sambil mengaduk bakso di mangkoknya. Indra mengangguk-angguk tanda membenarkan omongan Fajar.
            “Hari ini kayanya gue bisa.” ucapku menaruh jus jambu ini di atas meja.
            “Yosh. Ganbatte.” ucap Resha dengan tawanya lalu lanjut makan. Kami bertiga jadi tertawa.
            “Mau ikut, Re?” godaku. Dia tersenyum ke arahku sambil menggelengkan kepala.
            “Di tempat biasa ya, Ar.” kata Indra. Disambung Fajar.
            “Jam 5 sore.”
            “Okey.”
            Kami pun lanjut menghabiskan makanan di kantin—di café ini. Hhaa. Menunggu berakhirnya jam istirahat yang begitu lama, 30 menit.
Futsal. Olahraga yang paling disukai Indra. Kalo aku sih biasa-biasa aja. Kkekeee. Mungkin semua hal,  aku menyukainya dengan cara biasa-biasa saja. Suka tapi tak begitu fanatik, seperti Indra dengan futsalnya. Yap. Dan sekarang kami akan mulai memainkannya. (harus cari info dulu tentang futsal.hhee :3 1 paragraf di kosongin yaa,^^)
            Permainan berakhir dengan skor imbang. Muka Indra dan Fajar keliatan sedikit kecewa. Kalo Resha ada di sini, dia pasti bilang “daijoubu” yang kalo diartiin ke bahasa Inggris “don’t worry”, bisa juga jadi kata tanya, “daijoubu?” di jawab “daijoubu desu” artinya “are you oke?”,“I am fine”.
            “Ar, cek hape lo deh.” ucap Indra memegang hape dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang anduk mengelap keringat di wajahnya. Aku pun mengambil hape di dalam tas segera. Dua pesan diterima. Bip.
            “Ganbattee,^^.”
            Bip.
            “Aku udah nemuin alamat Romi.^^”
Indra menghampiriku. Aku menatap hape ini dengan seksama. Membaca ulang sms kedua dari Resha tadi. Sudah dikirimnya  1 jam yang lalu.
            “Ar, Romi itukan yang dibilang kepsek ngga ngikut PD.” aku mengangguk-angguk.
            “Jangan-jangan dia kesana ya?”
            “Bisa jadi.” kataku sambil membaca ulang lagi sms Resha. “Udah sejam yang lalu.” ucapku.
            “Berarti…”

            Sepanjang perjalanan pulang aku kepikiran sms Resha terus. Dari mana dia dapat alamat Romi? Kenapa juga dia pergi sendirian?? 

Pagi yang cerah dengan sedikit hembusan angin. Awan yang tipis bersisik. Lagi banyak ikan nih di laut. Gumamku sambil sedikit menengadah.
                        “Ar.” suara yang lembut mengejutkanku. “Lagi liat apa?”
                        Aku tiba-tiba menghentikan langkah.
                        “Kemaren aku ke rumah Romi lho.” katanya dengan senyum. Aku hanya memandangnya.
                        “Sendirian kamu?”
                        Dia menggelengkan kepala, “bareng kepsek.” Aku melanjutkan langkah sedikit memalingkan wajah darinya. Bingung apa yang sebaiknya aku ucapkan.
                        “Ar, dia orangnya baik kok.” katanya lagi sambil menyamai langkah kakiku. Aku tersenyum padanya. Sebenarnya aku agak khawatir tapi kayanya di baik-baik aja.
                        Ada kepsek lagi di gerbang. Lagi ngobrol dengan beberapa murid. Dia melihat ke arahku dan Resha.
                        “Pagi, Pak.” sapa Resha. Aku diam saja. Biasanya ngajak ngobrol kami tapi kali ini ngga, mungkin karena lagi ngobrol dengan murid lain. Bagus deh, pikirku. Kami pun berlalu begitu saja.
Hari ini jadwal piketnya Resha dan Indra, aku pulang duluan tanpa menunggu mereka—ada yang harus aku kerjain di rumah. Ternyata ada kepsek lagi di gerbang sekolah. Beberapa murid menyapanya. Pandangannya terarah padaku. Serasa kakiku ingin melangkah cepat-cepat melewatinya.
                        “Ar.” panggilnya. Ingin aku meneruskan langkah tapi malah terhenti. --,
                        “Iya, Pak.”
                        Kami berjalan beriringan keluar gerbang.
                        “Kemaren saya dan Resha udah nemuin Romi.”
                        “Baik, Pak.”
                        “Kamu khawatir?”
                        “Saya khawatir katanya Bapak ngga tau harus ngomong apa.”
                        “Kan ada Resha. Hahahaaa.” aku menoleh padanya. “Dia bilang mau ikut pd lagi kalo satu klub sama Resha.” katanya sambil sedikit senyum ke arahku. Hah? Aku semakin penasaran menatapnya.       
                        “Jadi, alasan dia ngga ngikut pd selama ini?”
                        “Dia bantuin orangtuanya kerja.”
                        “Kenapa?”
                        “Ayahnya sudah meninggal. Punya ade 2 dan ibunya sakit-sakitan.” sedikit terkejut aku mendengar penjelasan kepsek.       
“Dia bisa diterima di Miruku karena IQnya yang lumayan tinggi. Juga keliatan kaya orang yang jujur.”
                        Jadi, kepsek nerima murid disini bukan karena apa pekerjaan orangtuanya atau seberapa besar penghasilan orangtuanya, melainkan dari kepribadian anak itu sendiri!
                        “Lalu apa yang bakal Bapak lakuin?”
                        “Mungkin…memperkerjakan dia di perusahaan.” dia sedikit memelankan langkah. “Awalnya dia menolak kami bicara dengan dia. Mungkin dia lupa kalo saya ini kepala sekolahnya -,- . Tapi Resha berhasil ngedeketin adenya, terus adenya ngerayu kakanya supaya mau ngobrol sama kami. Ternyata orangnya baik kok.” katanya tertawa. “Kamu ngga perlu khawatirin Resha.” katanya menepuk pundakku. What? Dia tau yang aku pikirin ya. Dia menghentikan langkah. “Keliatan nampak banget di wajah kamu, Ar.”
                        “Saya khawatir kalo Resha pergi sendirian, Pak.” tegasku. Dia tertawa.
                        “Lain kali kamu dan Indra datangin juga ya tu si Romi. Ajak Resha juga. Kalo perlu ajakin Fajar sekalian.”
                        “Baik, Pak.”
                        Dia pun kembali ke sekolah. Dan aku melanjutkan langkah. Sedikit malu sendiri karena sudah terlalu jujur dengan kepsek. :v
Cukup ingin tau aku gimana kehidupan si Romi itu. Aku ajak Resha, Indra, Fajar juga. Ternyata benar yang dikatakan kepsek. Saat kami ke sana Rominya lagi kerja di kebun bantuin ibunya. Bukan kebun sendiri melainkan jadi buruh di kebun orang lain. Ya. Ibunya keliatan tua tapi mungkin umur beliau sama aja kaya ibu ane. Kadang batuk-batuk waktu ngobrol sama kami. Rumahnya sangat sederhana, batu bata merah tanpa di plester semen.
                        Kami bicara lumayan banyak dengan Romi. Keliatan dari wajahnya kalau dia cukup tertekan. Mungkin karena beban ekonomi keluarga dan dia yang menjadi tulang punggungnya. Membayar biaya sekolah dua orang adenya. Yang satu SMP dan satunya baru kelas 2 SD. Dia bekerja keras bersama ibunya yang cukup renta.
                        Biarpun kami tau kenyataan keseharian dia begitu, tetap kami sarankan agar dia ikut pd(pengembangan diri) di salah satu klub—terserah maunya dia. Awalnya menolak dan terus kami bujuk, juga Resha. Kami bilang bahwa hanya untuk sisa waktu di kelas X ini, kelas XI nanti dia akan dipekerjakan di perusahaan kepsek. Akhirnya dia mau dan memilih seklub dengan Resha—desain. Dan ibunya pun mengijinkan.
Sore ini, sore Sabtu yang teduh, semua murid Miruku yang kelas X menghadiri klub pd masing-masing. Aku pun dengan klub voliku. Hahaa. Indra di klub basket, Resha di klub desain, dan Fajar di mana ya? Kkekee. Kepsek juga ikut hadir setiap kali pd di sore Sabtu dan Kamis buat ngeabsen murid-muridnya.
                        Bercucuran keringat aku bermain voli di bawah langit langsung—lapangan pasir buatan. Belum terlalu jago sih, tapi lumayan lah.
                        “Waktu istirahat 15 menit.” ucap ketua klub voli khusus cowo yang aku ikuti ini. Terpikir untuk membeli minum di kantin, 15 menit pasti cukup kalo lari. Ngga sengaja aku ngelewatin ruang klubnya Resha. Berisik amat. Aku coba ngintip sedikit dari jendela. Loh?!