Jumat, 02 Agustus 2013

Cover ka ?

Bad or nice
It's your opinion,^^

Ordinary Nichijou desu !!!!!!



 "Re.”
            “Iya.”
            “Udah tidur kamu?”
            “Lagi belajar ^^.”
            “-,-”
            “Emangnya kenapa?”
            “E…gimana rencana kamu?”
            “Rencana buat nyontek di tes besok?”
            “:v… Rencana buat bantuin kepsek.” kayanya Resha bukan tipe pencontek deh -.-’
            “Belum ada rencana. Kamu?”
            “Ngga ada juga. Makanya aku nanya kamu. –o-”
            “Kalo sempat nanti aku pikirin deh.^^ Good luck ya buat besok.”
            “Ok.”
                       
            Memangnya…besok ulangan apa ya? Hahahaa
Pagi cerah dengan sedikit bias jingga merona di langit, tumben ngga ketemu Resha. Indra juga ngga ada kedengeran suaranya. Apa mereka udah di kelas ya.
            Begitu selangkah kaki memasuki pintu kelas, aku sedikit tercengang melihat Indra dan Resha duduk belajar bersama. Tumben :3
            “Udah belajar, Ar?” tanya Indra saat aku menghampiri mereka. Aku menganggukkan kepala. Meliat mereka yang begitu serius belajar buat tes matematika di jam pertama ini, membuatku sedikit malu ke diri sendiri. Tadi malam cuma main-main belajarnya. Hhaa. Cuma liat-liat doang.
            Sudah menjadi rutinitas kami pergi ke kantin bertiga. Ke kantin yang lebih menyerupai café ini. Kadang Fajar juga ikut gabung dan bercanda dengan kami. Resha yang selalu tersenyum membuatku betah didekatnya, Indra yang berwawasan luas sampai-sampai kadang kelewat batas ilmunya (wkwkk), dan Fajar yang masih belum bisa diprediksi sifatnya, kaya kakanya—Pak Jerry. Bercanda dengan tawa mereka yang begitu tulus. Beban-beban pikiran tentang ulangan, peer, tugas-tugas dan lain-lain jadi serasa terhapus oleh tawa mereka,juga aku.
“Ar, sore ini kita main futsal. Ikut, ya.” ajak Indra. Aku masih menyeruput jus jambu di tanganku.
            “Iya, Ar. Kita lagi kekurangan orang nih. Abisnya Doni cedera sih.” timpal Fajar sambil mengaduk bakso di mangkoknya. Indra mengangguk-angguk tanda membenarkan omongan Fajar.
            “Hari ini kayanya gue bisa.” ucapku menaruh jus jambu ini di atas meja.
            “Yosh. Ganbatte.” ucap Resha dengan tawanya lalu lanjut makan. Kami bertiga jadi tertawa.
            “Mau ikut, Re?” godaku. Dia tersenyum ke arahku sambil menggelengkan kepala.
            “Di tempat biasa ya, Ar.” kata Indra. Disambung Fajar.
            “Jam 5 sore.”
            “Okey.”
            Kami pun lanjut menghabiskan makanan di kantin—di café ini. Hhaa. Menunggu berakhirnya jam istirahat yang begitu lama, 30 menit.
Futsal. Olahraga yang paling disukai Indra. Kalo aku sih biasa-biasa aja. Kkekeee. Mungkin semua hal,  aku menyukainya dengan cara biasa-biasa saja. Suka tapi tak begitu fanatik, seperti Indra dengan futsalnya. Yap. Dan sekarang kami akan mulai memainkannya. (harus cari info dulu tentang futsal.hhee :3 1 paragraf di kosongin yaa,^^)
            Permainan berakhir dengan skor imbang. Muka Indra dan Fajar keliatan sedikit kecewa. Kalo Resha ada di sini, dia pasti bilang “daijoubu” yang kalo diartiin ke bahasa Inggris “don’t worry”, bisa juga jadi kata tanya, “daijoubu?” di jawab “daijoubu desu” artinya “are you oke?”,“I am fine”.
            “Ar, cek hape lo deh.” ucap Indra memegang hape dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang anduk mengelap keringat di wajahnya. Aku pun mengambil hape di dalam tas segera. Dua pesan diterima. Bip.
            “Ganbattee,^^.”
            Bip.
            “Aku udah nemuin alamat Romi.^^”
Indra menghampiriku. Aku menatap hape ini dengan seksama. Membaca ulang sms kedua dari Resha tadi. Sudah dikirimnya  1 jam yang lalu.
            “Ar, Romi itukan yang dibilang kepsek ngga ngikut PD.” aku mengangguk-angguk.
            “Jangan-jangan dia kesana ya?”
            “Bisa jadi.” kataku sambil membaca ulang lagi sms Resha. “Udah sejam yang lalu.” ucapku.
            “Berarti…”

            Sepanjang perjalanan pulang aku kepikiran sms Resha terus. Dari mana dia dapat alamat Romi? Kenapa juga dia pergi sendirian?? 

Pagi yang cerah dengan sedikit hembusan angin. Awan yang tipis bersisik. Lagi banyak ikan nih di laut. Gumamku sambil sedikit menengadah.
                        “Ar.” suara yang lembut mengejutkanku. “Lagi liat apa?”
                        Aku tiba-tiba menghentikan langkah.
                        “Kemaren aku ke rumah Romi lho.” katanya dengan senyum. Aku hanya memandangnya.
                        “Sendirian kamu?”
                        Dia menggelengkan kepala, “bareng kepsek.” Aku melanjutkan langkah sedikit memalingkan wajah darinya. Bingung apa yang sebaiknya aku ucapkan.
                        “Ar, dia orangnya baik kok.” katanya lagi sambil menyamai langkah kakiku. Aku tersenyum padanya. Sebenarnya aku agak khawatir tapi kayanya di baik-baik aja.
                        Ada kepsek lagi di gerbang. Lagi ngobrol dengan beberapa murid. Dia melihat ke arahku dan Resha.
                        “Pagi, Pak.” sapa Resha. Aku diam saja. Biasanya ngajak ngobrol kami tapi kali ini ngga, mungkin karena lagi ngobrol dengan murid lain. Bagus deh, pikirku. Kami pun berlalu begitu saja.
Hari ini jadwal piketnya Resha dan Indra, aku pulang duluan tanpa menunggu mereka—ada yang harus aku kerjain di rumah. Ternyata ada kepsek lagi di gerbang sekolah. Beberapa murid menyapanya. Pandangannya terarah padaku. Serasa kakiku ingin melangkah cepat-cepat melewatinya.
                        “Ar.” panggilnya. Ingin aku meneruskan langkah tapi malah terhenti. --,
                        “Iya, Pak.”
                        Kami berjalan beriringan keluar gerbang.
                        “Kemaren saya dan Resha udah nemuin Romi.”
                        “Baik, Pak.”
                        “Kamu khawatir?”
                        “Saya khawatir katanya Bapak ngga tau harus ngomong apa.”
                        “Kan ada Resha. Hahahaaa.” aku menoleh padanya. “Dia bilang mau ikut pd lagi kalo satu klub sama Resha.” katanya sambil sedikit senyum ke arahku. Hah? Aku semakin penasaran menatapnya.       
                        “Jadi, alasan dia ngga ngikut pd selama ini?”
                        “Dia bantuin orangtuanya kerja.”
                        “Kenapa?”
                        “Ayahnya sudah meninggal. Punya ade 2 dan ibunya sakit-sakitan.” sedikit terkejut aku mendengar penjelasan kepsek.       
“Dia bisa diterima di Miruku karena IQnya yang lumayan tinggi. Juga keliatan kaya orang yang jujur.”
                        Jadi, kepsek nerima murid disini bukan karena apa pekerjaan orangtuanya atau seberapa besar penghasilan orangtuanya, melainkan dari kepribadian anak itu sendiri!
                        “Lalu apa yang bakal Bapak lakuin?”
                        “Mungkin…memperkerjakan dia di perusahaan.” dia sedikit memelankan langkah. “Awalnya dia menolak kami bicara dengan dia. Mungkin dia lupa kalo saya ini kepala sekolahnya -,- . Tapi Resha berhasil ngedeketin adenya, terus adenya ngerayu kakanya supaya mau ngobrol sama kami. Ternyata orangnya baik kok.” katanya tertawa. “Kamu ngga perlu khawatirin Resha.” katanya menepuk pundakku. What? Dia tau yang aku pikirin ya. Dia menghentikan langkah. “Keliatan nampak banget di wajah kamu, Ar.”
                        “Saya khawatir kalo Resha pergi sendirian, Pak.” tegasku. Dia tertawa.
                        “Lain kali kamu dan Indra datangin juga ya tu si Romi. Ajak Resha juga. Kalo perlu ajakin Fajar sekalian.”
                        “Baik, Pak.”
                        Dia pun kembali ke sekolah. Dan aku melanjutkan langkah. Sedikit malu sendiri karena sudah terlalu jujur dengan kepsek. :v
Cukup ingin tau aku gimana kehidupan si Romi itu. Aku ajak Resha, Indra, Fajar juga. Ternyata benar yang dikatakan kepsek. Saat kami ke sana Rominya lagi kerja di kebun bantuin ibunya. Bukan kebun sendiri melainkan jadi buruh di kebun orang lain. Ya. Ibunya keliatan tua tapi mungkin umur beliau sama aja kaya ibu ane. Kadang batuk-batuk waktu ngobrol sama kami. Rumahnya sangat sederhana, batu bata merah tanpa di plester semen.
                        Kami bicara lumayan banyak dengan Romi. Keliatan dari wajahnya kalau dia cukup tertekan. Mungkin karena beban ekonomi keluarga dan dia yang menjadi tulang punggungnya. Membayar biaya sekolah dua orang adenya. Yang satu SMP dan satunya baru kelas 2 SD. Dia bekerja keras bersama ibunya yang cukup renta.
                        Biarpun kami tau kenyataan keseharian dia begitu, tetap kami sarankan agar dia ikut pd(pengembangan diri) di salah satu klub—terserah maunya dia. Awalnya menolak dan terus kami bujuk, juga Resha. Kami bilang bahwa hanya untuk sisa waktu di kelas X ini, kelas XI nanti dia akan dipekerjakan di perusahaan kepsek. Akhirnya dia mau dan memilih seklub dengan Resha—desain. Dan ibunya pun mengijinkan.
Sore ini, sore Sabtu yang teduh, semua murid Miruku yang kelas X menghadiri klub pd masing-masing. Aku pun dengan klub voliku. Hahaa. Indra di klub basket, Resha di klub desain, dan Fajar di mana ya? Kkekee. Kepsek juga ikut hadir setiap kali pd di sore Sabtu dan Kamis buat ngeabsen murid-muridnya.
                        Bercucuran keringat aku bermain voli di bawah langit langsung—lapangan pasir buatan. Belum terlalu jago sih, tapi lumayan lah.
                        “Waktu istirahat 15 menit.” ucap ketua klub voli khusus cowo yang aku ikuti ini. Terpikir untuk membeli minum di kantin, 15 menit pasti cukup kalo lari. Ngga sengaja aku ngelewatin ruang klubnya Resha. Berisik amat. Aku coba ngintip sedikit dari jendela. Loh?!

Jumat, 26 Juli 2013

Ordinary Nichijou desu !!!!!


#bingung harus nulis apa wkwkkkk gimana kalo flashback ke kehidupan kecil Fajar ama kepsek Jerry :D
                        Hari ini adalah hari ulang tahun Jerry yang ke 17 dan hari ulang tahun Fajar yang ke 10. sudah menjadi tradisi bagi mereka untuk saling tukar kado. Ya walaupun uang beli kadonya minta sama mama yang sama. Hahaa(apalucu’ny-,-) Saban kali menerima kado dari Jerry muka Fajar selalu keliatan ngga senang.
                      “Pasti kotaknya hitam putih.” sambil melirik sinis ke kotak kado yang di bawa Jerry. Dia benar-benar ngga suka dengan hitam putih. Pertama kali dia menerima kado dari Jerry, dia menangis keras sekali. Kotak kadonya berwarna hitam putih dan bergambar tengkorak. Belum lagi isinya, boneka nightmare yang tampangnya begitu menakutkan.
                        Sedangkan Jerry, selalu menerima kado berwarna-warni dari Fajar. Yap. Kebalikannya, Jerry sangat ngga suka dengan hal yang terlalu cerah berwarna.
Dan sekarang setelah 7 tahun berlalu, mereka masih melakukan kebiasaan lama itu. Sedikit berbeda karena mereka sekarang hanya duduk berdua di meja makan dengan kue tar dan nyala beberapa lilin di atasnya.
                        “Bang.”
                        Jerry menoleh pada adiknya.
                        “Hitam putih lagi ?”
                        Mereka berdua saling mengeluarkan kado. Masih warna-warni kotak persegi kecil di tangan Fajar dan kado hitam putih kotak persegi besar di tangan Jerry. Lalu mereka saling lempar. (+.+)
                        “Liat dulu isinya.” ucap Jerry sambil menarik kado di depannya.
                        Fajar langsung beranjak ke kamarnya dengan kado di tangan. Jerry cuma memperhatikannya dari meja makan. Beberapa saat sesudah fajar ngga keliatan lagi Jerry langsung buka itu bungkusan kado yang dia terima.
                        Reaksinya sih santai aja…tapi dalam hatinya lumayan senang. Boneka kodok hijau mata besar di dapatnya. Dia memainkan boneka itu lalu berkata sendiri.
                        “Moshi moshi. Kore wa Fajar desu. Yoroshiku. Kkekekee.” ucapnya lalu pergi meninggalkan dapur, memeluk kodok itu di dadanya. Melirik sedikit ke pintu kamar Fajar sebelum masuk ke kamarnya sendiri.
Awan agak mendung mengawali pagi ini. Mulai sekolah lagi, pakai tas lagi, dan bertemu teman sekelas lagi. Pagi Senin setelah Minggu berlalu.
                        Dengan berlari kecil Resha mengejar Arsy yang sudah sedikit jauh berjalan di depannya.
                        “Ohayo.” katanya memelankan langkah di samping Arsy.
                        “Ya. Agak mendung nih.” Ucap Arsy menengadah ke langit. Resha angguk-angguk.
                        “Kamu bawa payung?”
                        Arsy menoleh ke Resha, “Y engga lah. Masa anak cowo bawa payung. Kkekekee.”
                        Resha tersenyum, melihat ke arah lain.
                        “Re !!!” seseorang berteriak dari ke jauhan dengan lambaian tangan. Resha ikutan ngelambain tangan.
                        “Indra.” katanya, tersenyum padaku. Dalam hati ane juga tau wkwkkk. Aku tersenyum saja padanya yang berlari mengejar Indra. Mereka menungguku di depan gerbang sekolah.                  
Hah! Ada Pak Jerry juga. Kenapa harus ada perasaan agak takut gini ya waktu ngeliat Pak Jerry. -,- Dia ketawa ke arahku.
                        “Lagi senang ya Pak?” tanya Resha.
                        “Biasa aja. Hahahaa.”
                        “Pagi, Ar.” katanya menepuk pundakku.
                        “Iya, Pak.”
                        Diapun berlalu begitu saja. Kali ini ngga nanyain tentang adenya.
                        “Ar.” suara Indra mengejutkanku.
                        “Apa an?”
                        “Kepsek bilang makasih karena kita udah mau jadi temennya Fajar.”
                        Aku agak ternganga. Apanya yang teman? Baru juga sekali ngomong kemaren. -,-
                        Tiba-tiba Resha mendekatkan wajahnya ke bahuku dan membisikkan sesuatu, “Hari ini kepsek ultah, lo.”
                       
Kami ketemu Fajar di kantin sekolah yang menyerupai café. Mukanya sedikit keliatan ngga semangat.
                        “Santai aja, bro. sekali-kali kalah kan ngga masalah.” hibur Indra. Rupanya kalah main futsal kemaren ya.
                        Dia membalas dengan hanya sedikit tawa lalu kembali menyeruput jus jambu di gelasnya. Melirik ke Resha yang terus menatapnya dengan senyum tiada henti. (waduh.-o-)
                        “Daijoubu.” ucap Resha.
                        Fajar memandang Resha dalam-dalam, “Kamu punya kaka cewe kan?” tanyanya.
                        “Iya.”
                        “Dulu dia sering ke rumah lho.”
                        Hah! Aku dan Indra bertatapan shok. Berarti kakanya Resha temen Kepsek dong.
Huft. Ternyata Resha ngga tau apa-apa tentang kehidupan SMA kakanya. “Waktu itu aku tinggal di Jepang.” ujarnya. De mo…kenapa jadi ane yang bingung ? :3 Sesuatu dari diri Kepsek yang agak tertutup, jadi keliatan menarik.
Berjalan hari tak terasa, begitu cepatnya kebersamaan kami berjalan mengikuti alur waktu.
                        “Tolong manfaatkan benar-benar sisa waktu kalian untuk menghadapi ulangan akhir semeseter pada dua bulan ke depan.” kepsek berpidato. “Saya harap tidak ada yang tinggal kelas maupun meninggalkan kelas.” Murid-murid mendengarkannya dengan seksama tanpa ada suara sedikitpun, begitu hening di pagi yang sedikit berawan.
                        Upacara dibubarkan setelah 1 jam berlalu, berdiri di bawah langit sedikit berawan tapi bukan mendung. (kkekee) Ingin cepat-cepat aku berlari ke kelas karena ada pr yang belum selesai. Hhahaa
                        “Ar.” aku mendengar suara di belakang memanggil. Dia berjalan ke arahku, kepsek.
                        “Ada apa ya, Pak.”
                        “Pulang sekolah ini temuin saya di ruang kepsek, ya.”
                        “Memangnya kenapa, Pak.”
                        “Ada yang mau saya bicarakan.”
                        Whatt?!! Jangan-jangan dia tau ane belum nyelesain peer. :3
                        “Baik, Pak.”
                        Dia pen pergi dengan tangan terselip di kantongnya. Selalu begitu gayanya seperti santai sekali. Hidupnya ngga ada beban ya. Hmm.. Aku menoleh, uwo ternyata Resha dan Indra mengintip pembicaraan kamitadi dari ventilasi kelas.
Akhirnya pulang sekolah ikut juga mereka ke ruangan kepsek, di samping perpustakaan. Ruangan yang bercat abu-abu dengan ornamen putih, ruangan yang ngga terlalu gelap dengan jendela kaca besar. Nuansa hitam-putih yang begitu terasa.
                        “Silakan duduk.” katanya mempersilakan duduk di kursi tamu. Sofa hitam dengan sedikit garis putih.
                        “Maaf sebelumnya, Pak.” kataku, “Teman saya yang berdua ini maksa buat ikut.” Resha dan Indra melirikku.
                        “Hahaa ngga masalah. Sebenarnya saya juga mau manggil mereka tapi tadi ngga ketemu. Wkwkk.” Indra dan Resha tertawa mengikuti kepsek, tawa mereka hampir menggelegar di ruangan besar ini.
                        “Jadi…ada masalah apa ya bapak nyuruh kami ke sini.” aku memecah tawa mereka. Terdiam sejenak dia menatapku.
                        “Begini. Ada satu anak cowo dari kelas D4 yang ngga ngikutin kegiatan klub selama beberapa bulan ini. Itu kelas tetangga kalian kan?” kami bertiga mengangguk-angguk. “Saya ingin kalian bicara dengan dia, buat dia mau ngikutin kegiatan di klub. Yang mana aja terserah.”
                        “Kenapa bapak ngga langsung tanya ke orangnya aja ?” tanya Indra.
                        “Karena…saya bingung gimana cara ngomongnya. -.-”
                        “Dan juga kami ngga punya wewenang apa-apa buat maksa dia.” kataku.
                        “Kalian punya sebagai teman untuk saling mengingatkan.”
                        Apaan? Kenal aja ngga -,- gumamku dalam pikiran.
Tanpa banyak pikir langsung saja Resha bilang setuju. Indra pun akhirnya mengiyakan. Ya…apa boleh buat. Sekali waktu membantu kepsek yang pemalu ini. _._
                        Gimana orangnya ya ? Orang yang namanya Romi itu. Di kelas D4, kelas tetangga kami. Mending sms Resha dah.

Minggu, 07 Juli 2013

Ordinary Nichijou desu !!!!



“Pagi, Pak Jerry.” sapanya begitu sumringah.
Pak Jerry ? Keren juga namanya. Aku cuma senyum sedikit menundukkan kepala padanya.
            “Pagi. E……gimana kalian sudah ketemu adik saya ?”
“Belum, Pak.”
“Sudah saya duga. Kalian pasti bingung nyariin orangnya.”
“Kayanya bapak sayang benget sama ade bapak.” kata Resha dengan senyumannya.
“Keliatan ya, hahahaaa.”
Jahh dalam pikiranku.
“Memangnya ade bapak itu ngga punya teman apa ?” tanyaku sambil memalingkan wajah sedikit takut jika harus menatap matanya.
“Kurang tau sih.”
Jahh -,-
“Eh…sini sini.” katanya, kamipun mendekat. “Itu yang pake tas putih.” katanya sambil menunjuk-nunjuk.
“Banyak kali pak yang pake tas putih.” sela ku.
“Bener juga. Itu tu yang itu lagi jalan sama…siapa tuh.”
Kami mengamatinya.
“Indra !” sebut Resha spontan.
“Jangan terlalu dipikirin, Ar..” hibur Resha. Aku tersenyum padanya.
“Iya nih. Entar gue bantuin deh.”
                       
Angin pagi yang begitu segar, baru jam setengah tujuh pagi aku sudah beranjak dari rumah dan bertemu Resha lagi. Mukanya begitu bersinar tak lupa senyum tulus disana.
“Morning, Ar.”
“Hai.”
Kami pun berjalan beriringan.
“Apa pagi ini kepsek ada di gerbang lagi, ya ?” kata Resha sambil memandang ke depan.
“Ngga mungkin deh.”  kataku sedikit tertawa membuatnya menoleh padaku.
“Ada tuh.” ucap Resha saat gerbang sudah nampak.
“………”
“Kayanya beliau lagi nungguin orang tuh. Hehe.”
“Nakut-nakutin, yah.” kataku sambil menarik tasnya. Dia menoleh dan tertawa.                  

“Hebat lo In bisa temenan sama adenya kepsek.” bisikku saat Bu Diah sedang menuliskan soal matematika di papan tulis ke Indra yang duduk di sebelahku.
            “Gue juga ngga tau kalo dia adenya kepsek.” ucap Indra tenang sambil terus menyalin soal ke buku catatannya.
            Aku tak menoleh darinya, “Emang lo kenal dia dimana ?”
            “Gue sering main futsal aja sama dia.”
            “Gue juga main tapi kok ngga pernah ketemu ya ?”
            “Itu karena elo mainnya setahun sekali. Hahahaa.” tawa Indra nyaring membuat Bu diah menoleh.
            “Indra ! Kamu kerjakan soal nomor satu sampai lima.” perintahnya lalu lanjut menulis. Indra menoleh padaku.
            “Elo sih ngajak gue ngobrol.” katanya mengeluarkan kepalan tangan. Aku tersenyum dan mulai menyalin soal di papan tulis.
            “Entar gue bantu ngerjain deh.”
            “Beneran lo.”
            “Tenang aja. Lo tau kan nilai matematika gue berapa di rapot. Hahahaaa.” kataku agak pelan sih takut kedengaran juga sama Bu Diah.
“Duhh gugup banget gue tadi pas disuruh Bu Diah maju ke depan. Gara-gara elo si Ar..”
            “Hahaa…lo juga ngerespon omongan gue.”
            Resha cuma tertawa melihat kami berdua.
            “Indra !” teriak seseorang dari kejauhan. Kami pun menoleh.
            “Siapa In ?” tanyaku.
            Dia berlari ke kami sambil memegangi topi sekolah di tangannya, menarik tali tas ranselnya.
            “Fajar.” ucap Indra. Aku dan Resha saling melirik tersenyum. Heheheee. Aku tau yang dipikirkannya.
            “In, hari ini jadi main kan ?” tanyanya sedikit ngos-ngosan.
            “Jam 4 ya.”
            “Sip.” Dia melirik padaku. “Lo ikut juga ?”
            “Ngga.” aku menggelengkan kepala.
            “Ikut aja. Ngga papa kok. Makin banyak makin rame.” katanya tertawa.
            “Aku ngga di ajak yah ?” tanya Resha bercanda. Kami bertiga tertawa melihatnya. Diapun ikutan tertawa.
            “Mau ikut lo Ar ?”
            “Entar gue cek jadwal dulu deh.”
            “Sok sibuk lo.” ucap Indra sambil memukul bahuku.
            “Ya udah. Gue balik duluan ya.” kata Fajar lalu pergi. 
“Kepsek ngga kenal adenya ya ?” tanyaku sambil terus mengamati kemana Fajar pergi. “Dia bilang adenya sulit nyari temen.” Resha angguk-angguk dan Indra entah melihat kemana.
            “Pak.” ucap Indra mengagetkanku dan Resha. Aku menoleh. Pak Jerry…
            Ternyata masa kecil Pak Jerry lebih parah dari gue. Ngga disukai adenya sendiri ! Kalo gue mending, cuma ngga disukai binatang. Kekekeee. Pantes dia ngga tau apa-apa tentang Fajar, mereka ngga akrab. Tapi kenapa jadi gue yang repot ya ? Hmmm… Resha mungkin mikirin hal yang sama kaya gue.
            Minggu besok Indra ngajakin aku jogging. Memang tu anak sukanya olahraga. Hampir semua olahraga dia bisa, kecuali satu, bulu tangkis. Tapi…dia ngga suka apa ngga bisa ya. Wkwkwkwkkkk.
            “Ar…ngapain kamu ? Ngerjain peer ??” tanya kakaku mengetok pintu kamar. Aku langsung bangkit tanpa menjawab pertanyaannya, membuka pintu putih ini. Aku menatapnya. “Makan sana.” aku cuma melongo. “Mba sama Ibu mau pergi bentar.”
            “Pantesan bajunya kece.” sindirku mencandainya. Dia tertawa lalu turun ke bawah dan aku mengikutinya dari belakang. “Mau kemana sih mba ?”
            “Ada deh. Ini urusan cewe.”
            Aku melirik Ibu yang sedang menyiapkan makan ku. Dia tersenyum sambil menuangkan air ke gelas. “Mau kemana sih, Bu.”
            “Ada deh…”
            Ibu ikut-ikutan ngejawab gitu.
“Kok Ibu aku cantik banget sih.” godaku sambil mengaduk nasi di piringku.
            “Godain ibu-ibu ntar dilaporin ke komnas HAM kamu.” kata Ibu sambil memukul lembut kepalaku. Kaka cuma tertawa dengan jeruk ditangannya. “Jaga rumah ya, Nak. Kalo mau jalan kunci pintunya taro di bawah karpet atau di pot depan.” perintah ibu.
            “Ngga mungkin lah bu si Arsy jalan sabtu malam gini, dia kan ngga punya pacar.” ejek kaka lalu berlari ke belakang ibu.
            “Iish.”
            Malam ini malam minggu ?Terus apa masalahnya ?!!!!!!