Jumat, 02 Agustus 2013

Ordinary Nichijou desu !!!!!!



 "Re.”
            “Iya.”
            “Udah tidur kamu?”
            “Lagi belajar ^^.”
            “-,-”
            “Emangnya kenapa?”
            “E…gimana rencana kamu?”
            “Rencana buat nyontek di tes besok?”
            “:v… Rencana buat bantuin kepsek.” kayanya Resha bukan tipe pencontek deh -.-’
            “Belum ada rencana. Kamu?”
            “Ngga ada juga. Makanya aku nanya kamu. –o-”
            “Kalo sempat nanti aku pikirin deh.^^ Good luck ya buat besok.”
            “Ok.”
                       
            Memangnya…besok ulangan apa ya? Hahahaa
Pagi cerah dengan sedikit bias jingga merona di langit, tumben ngga ketemu Resha. Indra juga ngga ada kedengeran suaranya. Apa mereka udah di kelas ya.
            Begitu selangkah kaki memasuki pintu kelas, aku sedikit tercengang melihat Indra dan Resha duduk belajar bersama. Tumben :3
            “Udah belajar, Ar?” tanya Indra saat aku menghampiri mereka. Aku menganggukkan kepala. Meliat mereka yang begitu serius belajar buat tes matematika di jam pertama ini, membuatku sedikit malu ke diri sendiri. Tadi malam cuma main-main belajarnya. Hhaa. Cuma liat-liat doang.
            Sudah menjadi rutinitas kami pergi ke kantin bertiga. Ke kantin yang lebih menyerupai café ini. Kadang Fajar juga ikut gabung dan bercanda dengan kami. Resha yang selalu tersenyum membuatku betah didekatnya, Indra yang berwawasan luas sampai-sampai kadang kelewat batas ilmunya (wkwkk), dan Fajar yang masih belum bisa diprediksi sifatnya, kaya kakanya—Pak Jerry. Bercanda dengan tawa mereka yang begitu tulus. Beban-beban pikiran tentang ulangan, peer, tugas-tugas dan lain-lain jadi serasa terhapus oleh tawa mereka,juga aku.
“Ar, sore ini kita main futsal. Ikut, ya.” ajak Indra. Aku masih menyeruput jus jambu di tanganku.
            “Iya, Ar. Kita lagi kekurangan orang nih. Abisnya Doni cedera sih.” timpal Fajar sambil mengaduk bakso di mangkoknya. Indra mengangguk-angguk tanda membenarkan omongan Fajar.
            “Hari ini kayanya gue bisa.” ucapku menaruh jus jambu ini di atas meja.
            “Yosh. Ganbatte.” ucap Resha dengan tawanya lalu lanjut makan. Kami bertiga jadi tertawa.
            “Mau ikut, Re?” godaku. Dia tersenyum ke arahku sambil menggelengkan kepala.
            “Di tempat biasa ya, Ar.” kata Indra. Disambung Fajar.
            “Jam 5 sore.”
            “Okey.”
            Kami pun lanjut menghabiskan makanan di kantin—di café ini. Hhaa. Menunggu berakhirnya jam istirahat yang begitu lama, 30 menit.
Futsal. Olahraga yang paling disukai Indra. Kalo aku sih biasa-biasa aja. Kkekeee. Mungkin semua hal,  aku menyukainya dengan cara biasa-biasa saja. Suka tapi tak begitu fanatik, seperti Indra dengan futsalnya. Yap. Dan sekarang kami akan mulai memainkannya. (harus cari info dulu tentang futsal.hhee :3 1 paragraf di kosongin yaa,^^)
            Permainan berakhir dengan skor imbang. Muka Indra dan Fajar keliatan sedikit kecewa. Kalo Resha ada di sini, dia pasti bilang “daijoubu” yang kalo diartiin ke bahasa Inggris “don’t worry”, bisa juga jadi kata tanya, “daijoubu?” di jawab “daijoubu desu” artinya “are you oke?”,“I am fine”.
            “Ar, cek hape lo deh.” ucap Indra memegang hape dengan tangan kiri dan tangan kanannya memegang anduk mengelap keringat di wajahnya. Aku pun mengambil hape di dalam tas segera. Dua pesan diterima. Bip.
            “Ganbattee,^^.”
            Bip.
            “Aku udah nemuin alamat Romi.^^”
Indra menghampiriku. Aku menatap hape ini dengan seksama. Membaca ulang sms kedua dari Resha tadi. Sudah dikirimnya  1 jam yang lalu.
            “Ar, Romi itukan yang dibilang kepsek ngga ngikut PD.” aku mengangguk-angguk.
            “Jangan-jangan dia kesana ya?”
            “Bisa jadi.” kataku sambil membaca ulang lagi sms Resha. “Udah sejam yang lalu.” ucapku.
            “Berarti…”

            Sepanjang perjalanan pulang aku kepikiran sms Resha terus. Dari mana dia dapat alamat Romi? Kenapa juga dia pergi sendirian?? 

Pagi yang cerah dengan sedikit hembusan angin. Awan yang tipis bersisik. Lagi banyak ikan nih di laut. Gumamku sambil sedikit menengadah.
                        “Ar.” suara yang lembut mengejutkanku. “Lagi liat apa?”
                        Aku tiba-tiba menghentikan langkah.
                        “Kemaren aku ke rumah Romi lho.” katanya dengan senyum. Aku hanya memandangnya.
                        “Sendirian kamu?”
                        Dia menggelengkan kepala, “bareng kepsek.” Aku melanjutkan langkah sedikit memalingkan wajah darinya. Bingung apa yang sebaiknya aku ucapkan.
                        “Ar, dia orangnya baik kok.” katanya lagi sambil menyamai langkah kakiku. Aku tersenyum padanya. Sebenarnya aku agak khawatir tapi kayanya di baik-baik aja.
                        Ada kepsek lagi di gerbang. Lagi ngobrol dengan beberapa murid. Dia melihat ke arahku dan Resha.
                        “Pagi, Pak.” sapa Resha. Aku diam saja. Biasanya ngajak ngobrol kami tapi kali ini ngga, mungkin karena lagi ngobrol dengan murid lain. Bagus deh, pikirku. Kami pun berlalu begitu saja.
Hari ini jadwal piketnya Resha dan Indra, aku pulang duluan tanpa menunggu mereka—ada yang harus aku kerjain di rumah. Ternyata ada kepsek lagi di gerbang sekolah. Beberapa murid menyapanya. Pandangannya terarah padaku. Serasa kakiku ingin melangkah cepat-cepat melewatinya.
                        “Ar.” panggilnya. Ingin aku meneruskan langkah tapi malah terhenti. --,
                        “Iya, Pak.”
                        Kami berjalan beriringan keluar gerbang.
                        “Kemaren saya dan Resha udah nemuin Romi.”
                        “Baik, Pak.”
                        “Kamu khawatir?”
                        “Saya khawatir katanya Bapak ngga tau harus ngomong apa.”
                        “Kan ada Resha. Hahahaaa.” aku menoleh padanya. “Dia bilang mau ikut pd lagi kalo satu klub sama Resha.” katanya sambil sedikit senyum ke arahku. Hah? Aku semakin penasaran menatapnya.       
                        “Jadi, alasan dia ngga ngikut pd selama ini?”
                        “Dia bantuin orangtuanya kerja.”
                        “Kenapa?”
                        “Ayahnya sudah meninggal. Punya ade 2 dan ibunya sakit-sakitan.” sedikit terkejut aku mendengar penjelasan kepsek.       
“Dia bisa diterima di Miruku karena IQnya yang lumayan tinggi. Juga keliatan kaya orang yang jujur.”
                        Jadi, kepsek nerima murid disini bukan karena apa pekerjaan orangtuanya atau seberapa besar penghasilan orangtuanya, melainkan dari kepribadian anak itu sendiri!
                        “Lalu apa yang bakal Bapak lakuin?”
                        “Mungkin…memperkerjakan dia di perusahaan.” dia sedikit memelankan langkah. “Awalnya dia menolak kami bicara dengan dia. Mungkin dia lupa kalo saya ini kepala sekolahnya -,- . Tapi Resha berhasil ngedeketin adenya, terus adenya ngerayu kakanya supaya mau ngobrol sama kami. Ternyata orangnya baik kok.” katanya tertawa. “Kamu ngga perlu khawatirin Resha.” katanya menepuk pundakku. What? Dia tau yang aku pikirin ya. Dia menghentikan langkah. “Keliatan nampak banget di wajah kamu, Ar.”
                        “Saya khawatir kalo Resha pergi sendirian, Pak.” tegasku. Dia tertawa.
                        “Lain kali kamu dan Indra datangin juga ya tu si Romi. Ajak Resha juga. Kalo perlu ajakin Fajar sekalian.”
                        “Baik, Pak.”
                        Dia pun kembali ke sekolah. Dan aku melanjutkan langkah. Sedikit malu sendiri karena sudah terlalu jujur dengan kepsek. :v
Cukup ingin tau aku gimana kehidupan si Romi itu. Aku ajak Resha, Indra, Fajar juga. Ternyata benar yang dikatakan kepsek. Saat kami ke sana Rominya lagi kerja di kebun bantuin ibunya. Bukan kebun sendiri melainkan jadi buruh di kebun orang lain. Ya. Ibunya keliatan tua tapi mungkin umur beliau sama aja kaya ibu ane. Kadang batuk-batuk waktu ngobrol sama kami. Rumahnya sangat sederhana, batu bata merah tanpa di plester semen.
                        Kami bicara lumayan banyak dengan Romi. Keliatan dari wajahnya kalau dia cukup tertekan. Mungkin karena beban ekonomi keluarga dan dia yang menjadi tulang punggungnya. Membayar biaya sekolah dua orang adenya. Yang satu SMP dan satunya baru kelas 2 SD. Dia bekerja keras bersama ibunya yang cukup renta.
                        Biarpun kami tau kenyataan keseharian dia begitu, tetap kami sarankan agar dia ikut pd(pengembangan diri) di salah satu klub—terserah maunya dia. Awalnya menolak dan terus kami bujuk, juga Resha. Kami bilang bahwa hanya untuk sisa waktu di kelas X ini, kelas XI nanti dia akan dipekerjakan di perusahaan kepsek. Akhirnya dia mau dan memilih seklub dengan Resha—desain. Dan ibunya pun mengijinkan.
Sore ini, sore Sabtu yang teduh, semua murid Miruku yang kelas X menghadiri klub pd masing-masing. Aku pun dengan klub voliku. Hahaa. Indra di klub basket, Resha di klub desain, dan Fajar di mana ya? Kkekee. Kepsek juga ikut hadir setiap kali pd di sore Sabtu dan Kamis buat ngeabsen murid-muridnya.
                        Bercucuran keringat aku bermain voli di bawah langit langsung—lapangan pasir buatan. Belum terlalu jago sih, tapi lumayan lah.
                        “Waktu istirahat 15 menit.” ucap ketua klub voli khusus cowo yang aku ikuti ini. Terpikir untuk membeli minum di kantin, 15 menit pasti cukup kalo lari. Ngga sengaja aku ngelewatin ruang klubnya Resha. Berisik amat. Aku coba ngintip sedikit dari jendela. Loh?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar